-->

  • MENYELAMI


    •  
    • Pernikahan bukanlah akhir cerita cinta, tapi cara terindah merayakan cinta.

      Ada pendapat jika cinta sesudah menikah tak seindah masa pacaran. Ya, jika kita meletakan cinta tadi sebagai kompetisi yang haus kemenangan. Sepertihalnya kompetisi yang setelah kita memenangkannya dan mendapat pialanya, berakhir begitu saja tak ada lagi yang harus diperjuangkan. Karena toh sudah menang. Tidak, bagi mereka yang memposisikan cinta tadi seperti sebuah sekolah tiada akhir. Sebagaimana sekolah yang berisikan para murid yang haus akan pelajaran. Semuanya tergantung kita mau memilih sudut pandang yang mana.

      Dua insan yang saling mencinta, terlahir dari lingkungan yang tak sama dan berbeda pola asuh, memaksa kita untuk belajar saling memahami. Saling memaklumi. Bukan untuk saling mendebat atau saling menuntut, yang memaksa ego untuk selalu ingin dipahami tanpa mau belajar memahami. Satu hal yang harus digarisbawahi, satu-satunya orang yang mampu memahami diri kita adalah diri kita sendiri. Adalah hal konyol memaksa pasangan menuruti ingin kita tanpa sedikitpun mau mencoba memahami dirinya. Sebab pasangan kita bukanlah cenayang yang bisa meramal dan membaca isi hati dan pikiran kita. Bahkan usia pernikahan yang sudah puluhan tahun pun bisa bertahan karena adanya proses belajar saling memahami satu sama lain yang tak kenal lelah.

      Pernikahan mengajarkan saya untuk belajar memahami, menyelami isi pikiran dan perasaan pasangan. Bersamaan dengan hal tadi, ada perjuangan melawan amarah untuk menaklukan ego. Meski dibeberapa babak yang dilalui, ada fase dimana diri kalah melawan amarah. Akan selalu ada ujian disetiap pembelajaran. Hal-hal ketidaksusaian yang didapati menjadi ujian dari belajar memahami tadi. 
      Lanjut di komen

      Seorang suami harus mau memahami seorang istri yang mencoba menukar lelah suami dengan cerita atau curahan hatinya. Meski sekedar menyediakan telinga, bagi seorang istri hal tersebut sudah cukup melepaskan kelegaan dari pekerjaan rumah yang menyita waktunya. Berbeda dengan suami, yang bisa kapan saja cuhat dan selalu ada orang-orang yang mendengarkannya, baik di kantor atau lingkungan pergaulannya. Sementara istri, yang menyibukkan diri di rumah jika bukan pada suami, kepada siapa lagi bercerita?

      Kalau saja para suami menyadari waktu yang mereka miliki, dari 24 jam hanya empat jam yang disediakan untuk istrinya amatlah sedikit dan tidak adil. Jika para suami berangkat kantor jam 7 pagi, pulang ke rumah pukul 8 malam. Maka waktu bersama istri hanya di jam 9-10 malam (itu pun sudah dilanda lelah dan kantuk) dan jam 4-5 malam (itu pun untuk bersiap beraktivitas). Sementara di akhir pekan, ia habiskan untuk beristrihat sebagai ajang balas dendam lemburan atau bahkan menyalurkan hobinya. Kalau sudah begitu, kapan quality time-nya?

      Seringkali kita berujar "kerja untuk keluarga", meski kebanyakan diantaranya tidak ada waktu bagi keluarga. Empat jam yang disediakan untuk istri tidaklah cukup untuk memberikannya ruang bertumbuh. Sebab seorang suami adalah pemimpin. Dimana pemimpun harus memiliki hal berlebih dalam segala bidang (ilmu dan materi). Jangan lupakan nafkah batinnya.  Bukan semata nafkah lahir yang dikedepankan. Sebab jika diibaratkan, rumah tangga adalah sebuah sekolah, dimana istri yang menjadi gurunya, sementara suami sebagai kepala sekolahnya. Akan terasa indah jika semuanya berjalan sebagaimana mestinya sesuai perannya dengan belajar memahami, satu sama lain, tiada akhir.
  • 0 comments:

    Post a Comment

    GET A FREE QUOTE NOW

    Inspired to Inspire

    ADDRESS

    Kota Banjar, Jawa Barat

    EMAIL

    motivaksiinspira@gmail.com

    WHATSAPP

    0822 1870 9135

    MOBILE

    0822 1870 9135