Hari itu tampak seperti biasanya. Kami berlima
bergulat dengan rutinitas harian. Aku yang kuliah di kota tetangga yang
berjarak 40 km dengan waktu tempuh satu jam mulai berangkat memacu si kuda
besi. Jalanan tampak leluasa, udara pagi begitu bebas dihirup tanpa tercampur
asap kendaraan. Sengaja Aku selalu memakai jalan alternatif yang tak ramai
kendaraan untuk menuju kampus. Meskipun jalan alternatif tadi tidak layak sebut
jalan, karena banyak dijadikan kolam ikan dadakan ditengah-tengahnya. Dan
terkadang membuat badanku pegal.
Hujan sudah menjadi teman perjalananku. Sama seperti
asap dan debu yang selalu mengikuti kemana aku pergi. Kalau sudah begini kadang
Ibu terlihat kasihan melihat rutinitas harianku. “Kenapa gak nge-kost aja sih?”
tanya Ibu. “Nanggung bu, kan gak jauh-jauh amat”. “Kalau kamu sering kehujanan
gini apalagi jauh, nanti Ibu ngobrol sama Bapak. Biar nanti dikasih mobil biar
gak kehujanan” Ibu menyarankan. Selang beberapa hari Ibu memastikan sambil
bertanya “Kata Bapak daripada kamu kehujanan gimana kalau pakai mobil. Ada
teman Bapak yang mau jual mobil, lumayan”. Seketika aku termenung ingin
menjawab langsung pertanyaan tadi namun tertahan untuk beberapa menit. “Gak
usah bu. Motor ini juga masih bisa dipakai” Aku sambil melirik ke arah motor
yang baru beberapa bulan dibelikan setelah sebelumnya ku semogakan. “Lagian
kalau beli mobil lagi, mau disimpan dimana. Garasinya gak muat dan Kakak belum
bisa mengurusnya (membiayai)”. Itu jawaban yang Aku sampaikan. Sebenarnya ada
jawaban yang ingin diutarakan namun tak kunjung disampaikan.
Aku tak mau terlalu merepotkan mereka. Sudah bisa
dikuliahkan saja sudah Alhamdulillah. Siapa juga yang gak mau diberikan
fasilitas untuk mendukung kegiatan kita. Apalagi dikasih mobil. Sepintas
dipikiranku saat itu Aku bertanya dalam hati, kalau Aku bisa diberikan
fasilitas tadi bagaimana dengan bekal di masa tua untuk kedua orangtuaku, belum
lagi kedua adikku yang belum kuliah. Aku khawatir nanti mereka tidak bisa
menikmati masa tua dan tidak bisa mengkuliahkan adik-adik saya karena bekalnya
habis untuk memenuhi segala fasilitas yang sebenarnya belum benar-benar Aku
butuhkan. Itu pelajaran yang melekat yang diajarkan Bapak. Hidup sederhana dan
membeli sesuatunya harus sesuai kebutuhan, bukan sekedar keinginan.
Aku selalu bersyukur dilahirkan dan dibesarkan
ditengah-tengah keluarga yang mengajarkan hidup kesederhanaan. Dan Aku selalu
bersyukur dengan apa yang sudah dimiliki dan sedang dinikmati sampai detik ini.
Ditengah perjalanan pulang dalam guyuran hujan. Sepanjang jalan Aku sempatkan
untuk berdo’a agar kedua orangtuaku dimuliakan olehNYA dan dilapangkan
rezekinya. Karena Aku percaya, saat hujan adalah waktu terbaik untuk berdo’a.
Hujan masih mengguyur setibanya di rumah.
“Mau Ibu siapkan air hangat?” Ibu menawarkan. “Gak
usah bu”.
“Ibu baru beli sapu baru nih” sambil menunjukkan
telunjuknya pada tempat dimana sapu tersebut disimpan. Aku yang masih sibuk mengeringkan badan
bertanya “Beli dimana bu?”. “Tadi Ibu beli dari kakek penjual sapu keliling.
Kasihan Ibu ngelihatnya. Sudah sangat tua tapi masih semangat mencari rezeki.
Apalagi setelah Ibu tanya, asalnya dari jauh. Kesini keliling jalan kaki. Jadi
Ibu panggil sambil beli sapunya sambil dikasih minum dan makan”. Jawab Ibu
sambil sesekali memandangi sapu tadi. Ibu memang selalu punya cara sendiri
dalam hal kepedulian. Hari itu secara tidak langsung kakek penjual sapu tadi
mengajarkan Ibu dan Aku tentang kepedulian dan kemandirian untuk tidak mengeluh
dan mengemis.
0 comments:
Post a Comment