Beberapa hari yang lalu, salah seorang teman saya sebut saja "Mawar" bukan nama sebenarnya sedang ramai-ramainya membahas, lebih tepatnya mengomentari pemberitaan Norman Kamaru yang kini beralih profesi menjadi pengusaha bubur manado. Karena penasaran dan awalnya saya kira berita tersebut hoax, saya telusuri sumbernya. Dan ternyata benar apa yang sedang menjadi buah bibir teman saya tadi.
Dalam postingan berita tersebut, terdapat kolom komentar bagi siapa saja yang ingin mengomentari berita tersebut atau bahkan sekedar numpang eksis di dunia maya. Dari beberapa komentar ada yang bernada positif memberikan support dan tidak sedikit juga yang memberi sindiran. Hal tersebut wajar, karena kehidupan sejatinya memiliki dua wajah layaknya dua mata koin.
Berdagang atau menjadi seorang pedagang, untuk beberapa orang dilingkungan kita menjadi profesi yang dipandang kurang begitu meyakinkan. Mungkin karena ketidakpastiannya dalam segi finansial. Padahal seorang penjual bubur, sama saja seperti pemilik resto mewah. Pemilik resto mewah pun pasti pernah mengalami masa-masa pahit dan ketir dalam membangun restonya. Tidak serta merta simsalabim langsung sukses punya mobil mewah, omzet Milyaran dan punya cabang dimana-mana.
Dari komentar bernada negatif yang saya baca, sangat menarik untuk dijadikan cerminan. Ada yang menghina, mencibir, atau menyindir keputusan Norman untuk beralih profesi seperti sekarang ini. Mungkin bagi kita selaku penonton, mengomentari hidup orang lain memang sungguh mengasyikan. Sama halnya ketika kita menjadi penonton sepakbola, dengan mudahnya kita mengomentari dan menyiyir para pemain yang permainannya tidak sesuai harapan kita. Tapi sesering apapun kita berkomentar, kita tetaplah penonton yang untuk menonton saja kita harus bayar. Berbeda dengan pemain. Sekalipun pemain dihardik di lapangan atau di bully karena penampilannya yang sedang buruk, mereka tetap dibayar dan mendapat gaji guys. Analoginya, seorang pemain yang gagal mengeksekusi tendangan penalti sekalipun dia dihardik dan banyak yang memarahinya, dia tetap digaji dan dibayar bukan? Berbeda dengan penonton.
Harusnya kita belajar dari kisah hidup saudar kita ini. Coba bayangkan kalau Anda diposisi dia. Belum tentu Anda kuat menghadapi ujian hidupnya. Bisa jadi Anda stress dan depresi. Untuk itu, janganlah kita sibuk mengomentari hidup orang lain, sedangkan diri kita sendiri lupa untuk diperbaiki. Lebih baik jadi pemain daripada jadi penonton bukan?
Bukankah sesuatu yang besar pun berawal dari yang kecil? Bisnis beromzet milyaran pun berawal dari recehan. Selama kita yakin dan terus berusaha (gigih), insya Allah pasti ada jalan. So, bagi kita yang sering nyinyir dan sibuk mengomentari hidup orang lain, mulailah kurangi kebiasaan buruk tersebut sebelum kebiasaan buruk tersebut membinasakan dan menyingkirkan kita dari aura kesuksesan :)
0 comments:
Post a Comment